Archives

gravatar

DI MANAKAH ROH SETELAH KEMATIAN….?

Share


Terdapat banyak pandangan ulama dalam masalah ini, antaranya;

Pendapat pertama:

Ruh orang-orang beriman sama ada para Nabi atau syuhadak ditempatkan di dalam syurga. Adapun ruh-ruh orang kafir ditempatkan di dalam neraka. Ini adalah pendapat Abu Hurairah, Ibnu Umar, Imam Ahmad, Imam Syafi’ie dan Ibnu Kathir (Lihat; Tafsir Ibnu Kathir, surah al-Baqarah, ayat 154).


Pendapat kedua:

Ruh-ruh orang beriman berada di langit yang ke tujuh di tempat bernama ‘Illiyyiin, sedangkan ruh-ruh orang kafir berada di lapisan bumi yang ke tujuh di tempat bernama Sijjin (penjara). Ini adalah pendapat Kaab dan Syeikh Abu Bakar al-Jazairi.


Pendapat ketiga:

Ruh-ruh orang beriman akan berada di halaman kubur masing-masing di mana kubur-kubur mereka dilapangkan oleh Allah, kecuali ruh orang-orang mati syahid yang ditempatkan di dalam syurga. Adapun ruh-ruh orang kafir, ia ditahan/dipenjara di bawah lapisan bumi yang ke tujuh. Ini adalah pendapat sekumpulan ulamak. Pendapat inilah yang dinyatakan oleh Imam al-Baijuri dalam kitabnya Syarah Jauharah at-Tauhid sebagai soheh. Menurut Imam Mujahid; ruh menetap di dalam kubur sehingga seminggu sahaja dari hari ia dikuburkan, kemudian ditempatkan di tempat yang lain.


Pendapat keempat:

Ruh berada di suatu tempat di mana ia berada ketika jasadnya belum diciptakan. Ini adalah pendapat Ibnu Hazm.


Pendapat kelima:

Ruh orang beriman berada di barzakh di bumi di mana ia bebas dapat pergi ke mana-mana menurut kehendaknya. Ini adalah pendapat Salman al-Farisi dan Imam Malik.

Perbedaan pendapat di atas adalah kerana wujudnya perbezaan dalil yang menjadi rujukan masing-masing. Kerana itu Imam Ibnul-Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya ar-Ruh, setelah beliau membentang pendapat-pendapat yang pelbagai tadi, beliau membuat ulasan bahawa ruh-ruh di alam barzakh berbeza-beza tempat dan tingkatnya mengikut kedudukan masing-masing di sisi Allah;

· Ada ruh yang ditempatkan di ‘Illiyyin pada daerah yang paling tinggi iaitu ruh para Nabi,
· Ada ruh yang ditempatkan di dalam syurga seperti ruh para Syuhadak,
· Ada ruh yang ditempatkan dipintu syurga,
· Ada ruh yang ditempatkan di bumi,
· Ada ruh yang berada lapisan terbawah dari bumi,
· Ada ruh yang berenang dalam lautan darah (sebagaimana dilihat Nabi s.a.w. dalam peristiwa Isra’ dan Mikraj).

Kesimpulannya, ruh-ruh tidak berada di satu tempat. Sebagai menegaskan pandangan beliau, Imam Ibnul-Qayyim menjelaskan; “Jka kita analisis serta hayati hadis-hadis atau riwayat tersebut, maka kita akan menyimpulkan bahawa tidak ada dalil-dalil soheh yang saling bertentangan antara satu sama lain. Inilah hujah yang benar dan dapat dijadikan pegangan”.


Hubungan ruh dengan jasad

Ruh-ruh selepas mati walaupun berada di tempat yang jauh (di syurga, di langit dan sebagainya mengikut pendapat-pendapat tadi), namun ia masih mempunyai hubungan secara langsung dengan kuburnya yang mengandungi jasadnya. Dengan adanya hubungan itu, ruh akan membalas salam orang yang datang berziarah ke kuburnya dan tidaklah mustahil bagi ruh itu untuk kembali ke jasadnya dalam waktu yang amat pantas dari tempat tinggalnya dengan izin Allah. Dalam hadis Rasulullah s.a.w. bersabda; “Tidak ada seorangpun yang melalui kubur saudaranya yang muslim yang dikenalinya di dunia, lalu ia memberi salam kepadanya melainkan akan dikembalikan ruh kepadanya sehingga ia dapat menjawab salam”.

Begitu juga dengan adanya hubungan itu, jasad akan turut merasai nikmat atau azab yang dikenakan ke atas ruh di alam barzakh. Kesimpulannya; di alam barzakh sekalipun ruh dengan jasad terpisah, namun hubungan antara keduanya masih ada.

Wallahu A’lam.


Rujukan;
1. Ar-Ruh, Ibnul-Qayyim al-Jauziyyah.
2. Tafsir Ibnu Kathir, surah al-Baqarah, ayat 154.
3. Aqidah al-Muslim, Syeikh Abu Bakar al-Jazairi.
4. Syarh Jauharah at-Tauhid, Imam al-Baijuri.
............... Lihat Selengkapnya

gravatar

PRABU KIAN SANTANG DAN SAYYIDINA ALI R.A.

Share

Assalamualaikum Warohmatullohi Wabarokatuh
Bismillahi rohmanirohiim

GODOG adalah sebuah daerah pedesaan yang indah dan nyaman, berjarak 10 km kearah timur dari puseur dayeuh Garut. Tepatnya di Desa Lebakagung, Kecamatan Karangpawitan, Kabupaten Garut. Disana terdapat makam Prabu Kiansantang atau yang dikenal dengan sebutan Makam Godog Syeh Sunan Rohmat Suci. Hampir setiap saat banyak masyarakat yang ziarah, terlebih di bulan-bulan maulud
Prabu Kiansantang atau Syeh Sunan Rohmat Suci adalah salah seorang putra keturunan raja Pajajaran, Prabu Siliwangi, dari prameswarinya yang bernama Dewi Kumala Wangi (Nyi Subang Larang). Kian Santang lahir tahun 1315 Masehi di Pajajaran, mempunyai dua saudara, bernama Dewi Rara Santang dan Walang Sungsang.


Pada usia 22 tahun, tepatnya tahun 1337 Masehi, Kiansantang diangkat menjadi dalem Bogor kedua yang saat itu bertepatan dengan upacara penyerahan tongkat pusaka kerajaan dan penobatan Prabu Munding Kawati, putra Sulung Prabu Susuk Tunggal, menjadi panglima besar Pajajaran. Guna mengenang peristiwa sakral penobatan dan penyerahan tongkat pusaka Pajajaran tersebut, maka ditulislah oleh Prabu Susuk Tunggal pada sebuah batu, yang dikenal sampai sekarang dengan nama Batu Tulis Bogor. Peristiwa itu merupakan kejadian paling istimewa di lingkungan Keraton Pajajaran dan dapat diketahui oleh kita semua sebagai pewaris sejarah bangsa, khususnya Jawa Barat.

Kiansantang merupakan sinatria yang gagah perkasa. Konon tak ada yang bisa mengalahkannya. Sejak kecil sampai dewasa, yaitu berusia 33 tahun, tepatnya tahun 1348 Masehi, Kiansantang belum pernah tahu seperti apa darahnya. Dalam arti, belum ada yang menandingi kegagahannya dan kesaktiannya. Sering kali dia merenung seorang diri, memikirkan dimana ada orang gagah dan sakti yang dapat menandingi kesaktian dirinya. Akhirnya Prabu Kiansantang memohon kepada ayahnya supaya mencarikan seorang lawan yang dapat menandinginya.

Sang ayah memanggil para ahli nujum untuk menunjukkan siapa dan dimana ada orang gagah dan sakti yang dapat menandingi Kiansantang. Namun tak seorangpun yang mampu menunjukkannya. Tiba-tiba datang seorang kakek yang memberitahu bahwa orang yang dapat menandingi kegagahan Prabu Kiansantang adalah Sayyidina Ali, yang tinggal jauh di Tanah Mekah. Sebetulnya pada waktu itu Sayyidina Ali telah wafat, namun kejadian ini dipertemukan secara gaib dengan kekuasaan Alloh Yang Maha Kuasa. Lalu , orang tua itu berkata kepada Prabu Kiansantang: “Kalau memang kau mau bertemu dengan Sayyidina Ali, kau harus melaksanakan dua syarat: Pertama,harus mujasmedidulu di ujung kulon. Kedua, namamu harus diganti menjadi Galantrang Setra (Galantrang – Berani, Setra – Bersih/ Suci).
setelah Prabu Kiansantang melaksanakan dua syarat tersebut, maka berangkatlah dia ke tanah Suci Mekah pada tahun 1348 Masehi. Setiba di tanah Mekah, ia bertemu dengan seorang lelaki yang disebut Sayyidina Ali, tetapi Kiansantang tidak mengetahui bahwa laki-laki itu bernama Sayyidina Ali. Prabu Kiansantang yang namanya sudah berganti menjadi Galantrang Setra menanyakan kepada laki-laki itu.

“Kenalkah dengan orang yang namanya Sayyidina Ali?” tentu laki- laki itu menjawab dengan jujur, mengiyakannya, bahkan ia bersedia mengantar Kian Santang. Sebelum berangkat, laki-laki itu menancapkan dulu tongkatnya ke tanah. Setelah berjalan beberapa puluh meter, Sayyidina Ali berkata, “Wahai Galantrang Setra, tongkatku ketinggalan di tempat tadi, tolong ambilkan dulu!”

Semula Galantrang Setra tidak mau. Namun Sayyidina Ali mengatakan jika tidak mau, tentu tidak akan bertemu dengan Sayyidina Ali. Terpaksalah Galantrang Setra kembali ketempat bertemu, untuk mengambilkan tongkat. Setibanya di tempat tongkat tertancap, Galantrang Setra mencabut tongkat dengan sebelah tangan. Ternyata tongkat tidak bisa dicabut, bahkan tidak sedikitpun berubah. Sekali lagi, Kian santang berusaha mencabutnya, tetapi tongkat itu tetap tidak berubah. Ketiga kalinya, Galantrang Setra mencabut tongkat dengan sekuat tenaga dengan disertai tenaga bathin. Tetapi tongkat tetap tertancap di tanah dengan kokoh, sebaliknya kedua kaki Galantrang Setra amblas masuk ke dalam tanah, dan keluarlah darah dari tubuh Galantrang Setra.

Sayyidina Ali mengetahui kejadian itu, maka beliaupun datang. Setelah Sayyidina Ali tiba, tongkat itu langsung dicabut sambil mengucapkan Bismillah dan dua kalimat syahadat.Tongkatpun terangkat dan bersamaan dengan itu hilang pulalah darah dari tubuh Galantrang Setra. Galantrang Setra merasa heran, kenapa darah yang keluar dari tubuh itu tiba-tiba menghilang dan kembali tubuhnya sehat. Dalam hatinya ia bertanya. “Apakah kejadian itu karena kalimah yang diucapkan oleh orang tua itu tadi?”. Kalaulah benar, kebetulan, akan kuminta ilmu kalimah itu. Tetapi laki-laki itu tidak menjawab. Alasannya, karena Galantrang Setra belum masuk Islam.

Kemudian mereka berdua berangkat menuju Mekah. Setelah tiba di Mekah, di tengah perjalanan ada yang bertanya kepada laki-laki itu dengan sebutan Sayyidina Ali. Galantrang Setra kaget mendengar panggilan ”Ali” tersebut. Ternyata laki-laki yang baru dikenalnya tadi tiada lain adalah Sayyidina Ali.
Setelah Kiansantang meninggalkan Mekah untuk pulang ke Tanah Jawa (Pajajaran), ia terlunta-lunta tidak tahu arah tujuan. Maka ia berpikir untuk kembali ke Mekah lagi dengan niat bulat akan menemui Sayyidina Ali, sekaligus bermaksud memeluk agama Islam. Pada tahun 1348 Masehi, Kiansantang masuk Islam. Ia bermukim selama dua puluh hari sambil mempelajari ajaran agama Islam. Kemudian dia pulang ke tanah Jawa (Pajajaran) untuk menengok ayahnya Prabu Siliwangi dan saudara-saudaranya.
Setibanya di Pajajaran, ia bertemu dengan ayahnya. Kian Santang menceritakan pengalamannya selama bermukim di tanah Mekah serta pertemuannya dengan Sayyidina Ali. Pada akhir ceritanya, ia memberitahukan bahwa dirinya telah masuk Islam dan berniat mengajak ayahnya untuk memeluk agama Islam. Prabu Siliwangi kaget sewaktu mendengar cerita anaknya, terlebih ketika anaknya mengajak masuk agama Islam. Sang ayah tidak percaya, dan ajakannya ditolak.

Tahun 1355 Masehi, Kiansantang berangkat kembali ke tanah Mekah. Jabatan kedaleman, untuk sementara diserahkan ke Galuh Pakuan yang pada waktu itu dalemnya dipegang oleh Prabu Anggalang. Prabu Kiansantang bermukim di tanah Mekah selama tujuh tahun dan mempelajari ajaran agama Islam secara khusu. Merasa sudah cukup menekuni ajaran agama Islam, kemudian ia kembali ke Pajajaran tahun 1362 M. Ia berniat menyebarkan ajaran agama Islam di tanah Jawa. Kembali ke Pajajaran pun disertai saudagar Arab yang punya niat berniaga di Pajajaran sambil membantu Kiansantang mensyi’arkan agama Islam.
Setiba di Pajajaran, Kiansantang langsung menyebarkan agama Islam di kalangan masyarakat, karena ajaran Islam dalam fitrohnya membawa keselamatan dunia dan akhirat. Masyarakat menerimanya dengan tangan terbuka. Kemudian Prabu Kiansantang bermaksud menyebarkan ajaran agama Islam di lingkungan Keraton Pajajaran.

Setelah Prabu Siliwangi mendapat berita bahwa anaknya sudah kembali ke Pajajaran dan akan menghadap kepadanya. Prabu Siliwangi yang mempunyai martabat raja mempunyai pikiran. “Dari pada masuk agama Islam lebih baik aku muninggalkan keraton Pajajaran”. Sebelum berangkat meninggalkan keraton, Prabu Siliwangi merubah Keraton Pajajaran yang indah menjadi hutan belantara.

Melihat gelagat demikian, Kiansantang mengejar ayahnya. Beberapa kali Prabu Siliwangi terkejar dan berhadapan dengan Kiansantang yang langsung mendesak agar sang ayah dan para pengikutnya masuk Islam. Namun Prabu Siliwangi tetap menolak, malah beliau lari ke daerah Garut Selatan. Kiansantang menghadangnya di laut Kidul Garut, tetapi Prabu Siliwangi tetap tidak mau masuk agama Islam. Dengan rasa menyesal, Kiansantang terpaksa membendung jalan larinya sang ayah. Prabu Siliwangi masuk ke dalam gua yang sekarang disebut gua sancang Pameungpeuk.

Prabu Kiansantang sudah berusaha mengislamkan ayahnya, tetapi Alloh tidak memberi hidayah kepada Prabu Siliwangi. Kiansantang kembali ke Pajajaran, kemudian membangun kembali kerajaan sambil menyebarkan agama Islam ke pelosok-pelosok, dibantu oleh saudagar Arab sambil berdagang. Namun istana kerajaan yang diciptakan oleh Prabu Siliwangi tidak dirubah, dengan maksud pada akhir nanti anak cucu atau generasi muda akan tahu bahwa itu adalah peninggalan sejarah nenek moyangnya. Sekarang lokasi istana itu disebut Kebun Raya Bogor.

Pada tahun 1372 Masehi, Kiansantang menyebarkan agama Islam di Galuh Pakuan dan dia sendiri yang mengkhitan laki-laki yang masuk agama Islam. Tahun 1400 Masehi, Kiansantang diangkat menjadi Raja Pajajaran, menggantikan Prabu Munding Kawati atau Prabu Anapakem I. Namun Kiansantang tidak lama menjadi raja, karena mendapat ilham harus uzlah, pindah dari tempat yang ramai ketempat yang sepi. Dalam uzlah itu, ia diminta agar bertafakur untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT, dalam rangka mencapai kema’ripatan. Kepada beliau dimintakan untuk memilih tempat tafakur dari ke 3 tempat, yaitu Gunung Ceremai, Gunung Tasikmalaya, atau Gunung Suci Garut.

Waktu uzlah harus dibawa peti yang berisikan tanah pusaka. Peti itu untuk dijadikan tanda atau petunjuk tempat bertafakur nanti, apabila tiba disatu tempat peti itu godeg/ berubah, maka disanalah tempat dia tafakur, dan kemudian nama Kiansantang harus diganti dengan Sunan Rohmat. Sebelum uzlah, Kiansantang menyerahkan tahta kerajaan kepada Prabu Panatayuda, putra tunggal Prabu Munding Kawati.

Setelah selesai serah-terima tahta kerajaan dengan Prabu Panatayuda, maka berangkatlah Prabu Kiansantang meninggalkan Pajajaran. Tempat yang dituju pertama kali adalah Gunung Ceremai. Setibanya disana, peti diletakan di atas tanah, tetapi peti itu tidak godeg alias berubah. Kiansantang kemudian berangkat lagi ke gunung Tasikmalaya, disana juga peti tidak berubah. Akhirnya Kiansantang memutuskan untuk berangkat ke gunung Suci Garut. Setibanya di gunung Suci Garut, peti itu disimpan diatas tanah, secara tiba-tiba berubahlah peti itu. Dengan godegnya peti tersebut, berarti petunjuk kepada Kiansantang bahwa ditempat itulah beliau harus tafakur untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tempat itu kini diberi nama Makam Godog.

Prabu Kiansantang bertafakur selama 19 tahun. Sempat mendirikan Mesjid yang disebut Masjid Pusaka Karamat Godog yang berjarak dari makam godog sekitar kurang lebih 1 Km. Prabu Kiansantang namanya diganti menjadi Syeh Sunan Rohmat Suci dan tempatnya menjadi Godog Karamat. Beliau wafat pada tahun 1419 M atau tahun 849 Hijriah. Syeh Sunan Rohmat Suci wafat di tempat itu yang sampai sekarang dinamakan Makam Sunan Rohmat Suci atau Makam Karamat Godog.
............... Lihat Selengkapnya

gravatar

TIRAKAT ADALAH TRADISI ULAMA

Share


Seorang sufi sejati mengamalkan riyadhah, tirakat, atau suluk thariqah sebagai ibadah tambahan, dengan terlebih dulu menuntaskan seluruh kewajiban syari’at atau ibadah fardhunya.
Kata tirakat, yang sangat terkenal pada kalangan orang Jawa, sesungguhnya berasal dari bahasa Arab. Yakni taraka, yang kata jadiannya menjadi yatruku-tarakan-tirkatan, yang berarti “meninggalkan”. Maksudnya, meninggalkan hal-hal yang buruk atau hal-hal yang bersifat duniawi, untuk meraih kebahagiaan akhirat. Ada juga yang berpendapat, kata tirakat merupakan hasil upaya men-Jawa-kan kata thariqah, yang dalam khazanah tasawuf berarti “jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT”.

Dalam dunia tasawuf, tirakat disebut juga suluk, atau lelaku dalam bahasa Jawa, yaitu melakukan suatu ritus untuk menjernihkan qalbu, dengan tujuan memperoleh ma’rifatullah atau pengenalan kepada Allah. Senada dengan itu ialah riyadhah, yang berarti “latihan keruhanian dengan menjalankan ibadah dan menundukkan keinginan nafsu”.

Menurut para pengamal tasawuf, riyadhah dalam arti tersebut juga dilakukan oleh Rasulullah SAW ketika berkhalwat di Gua Hira sebagai upaya menghindarkan diri dari dampak kebobrokan masyarakat Jahiliyyah. Di sanalah beliau melatih qalbu dan mengasah jiwa dengan merenung dan memperhatikan alam semesta serta keagungannya seraya memuji Penciptanya. Riyadhah itu terus berlanjut setelah beliau diangkat oleh Allah SWT sebagai rasul. Dengan pertolongan Allah, beliau terus melakukan mujahadah, yakni berjuang melawan hawa nafsu, dan memperbanyak amaliah sunnah.

Dalam dunia tasawuf, ada dua macam riyadhah. Yaitu riyadhah jasmani dan riyadhah ruhani. Riyadhah jasmani dilakukan seorang sufi dengan mengurangi atau membatasi makan, minum, tidur, dan berkata-kata. Sebagai gantinya, mereka memperbanyak ibadah, baik yang bersifat jasmani, seperti puasa, shalat, membaca Al-Qur’an, berdzikir, maupun yang bersifat ruhani, seperti senantiasa mengingat Allah dan menghindari pikiran, perasaan, dan prasangka negatif.

Dua di antara tiga pembatasan itu, yakni makan dan tidur, merupakan satu paket. Sebab, orang yang banyak makan biasanya banyak tidur pula. Karena itu dalam laku tirakat biasanya kedua hal tersebut harus dihindari.

Adapun perilaku sedikit bicara sangatlah dianjurkan. Sebab, orang yang banyak bicara akan semakin banyak pula salah dan khilafnya. Shahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq memberi keteladanan dengan mengulum batu karena takut bicara berlebih-lebihan. Lebih-lebih setelah mendengar sabda Rasulullah SAW, “Man kana yu’minu billahi wal yaumil akhir, falyaqul khairan au liyashmut (Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, bicaralah yang baik-baik saja, atau lebih baik diam).”

Yang perlu ditekankan, seorang sufi sejati mengamalkan riyadhah, tirakat, atau suluk thariqah sebagai ibadah tambahan, dengan terlebih dulu menuntaskan seluruh kewajiban syari’at atau ibadah fardhunya, seperti shalat, puasa, zakat, dan haji, serta menguasai berbagai ranah keilmuan agama yang dibutuhkan untuk hidup mandiri.
............... Lihat Selengkapnya

gravatar

PETERNAKAN SAPI BSM TIRAKAT MANDIRI

Share

SELAMAT 



PETERNAKAN SAPI
BSM
TIRAKAT MANDIRI


MENYEDIAKAN SEGALA JENIS SAPI

SEMOGA MEMBAWA BERKAH
UNTUK SEMUA ORANG
















............... Lihat Selengkapnya

Join Us

Iklan Populer

SAPI BSM UNGGULAN