Assalamualaikum Warohmatullohi Wabarokatuh
Bismillahi rohmanirohiim
GODOG adalah sebuah daerah pedesaan yang indah dan nyaman, berjarak 10 km kearah timur dari
puseur dayeuh Garut.
Tepatnya di Desa Lebakagung, Kecamatan Karangpawitan, Kabupaten Garut.
Disana terdapat makam Prabu Kiansantang atau yang dikenal dengan sebutan
Makam Godog Syeh Sunan Rohmat Suci. Hampir setiap saat banyak
masyarakat yang ziarah, terlebih di bulan-bulan maulud
Prabu Kiansantang atau Syeh Sunan Rohmat Suci adalah salah seorang
putra keturunan raja Pajajaran, Prabu Siliwangi, dari prameswarinya yang
bernama Dewi Kumala Wangi (Nyi Subang Larang). Kian Santang lahir tahun
1315 Masehi di Pajajaran, mempunyai dua saudara, bernama Dewi Rara
Santang dan Walang Sungsang.
Pada usia 22 tahun, tepatnya tahun 1337 Masehi, Kiansantang diangkat
menjadi dalem Bogor kedua yang saat itu bertepatan dengan upacara
penyerahan tongkat pusaka kerajaan dan penobatan Prabu Munding Kawati,
putra Sulung Prabu Susuk Tunggal, menjadi panglima besar Pajajaran. Guna
mengenang peristiwa sakral penobatan dan penyerahan tongkat pusaka
Pajajaran tersebut, maka ditulislah oleh Prabu Susuk Tunggal pada sebuah
batu, yang dikenal sampai sekarang dengan nama Batu Tulis Bogor.
Peristiwa itu merupakan kejadian paling istimewa di lingkungan Keraton
Pajajaran dan dapat diketahui oleh kita semua sebagai pewaris sejarah
bangsa, khususnya Jawa Barat.
Kiansantang merupakan
sinatria yang gagah perkasa. Konon tak
ada yang bisa mengalahkannya. Sejak kecil sampai dewasa, yaitu berusia
33 tahun, tepatnya tahun 1348 Masehi, Kiansantang belum pernah tahu
seperti apa darahnya. Dalam arti, belum ada yang menandingi kegagahannya
dan kesaktiannya. Sering kali dia merenung seorang diri, memikirkan
dimana ada orang gagah dan sakti yang dapat menandingi kesaktian
dirinya. Akhirnya Prabu Kiansantang memohon kepada ayahnya supaya
mencarikan seorang lawan yang dapat menandinginya.
Sang ayah memanggil para ahli nujum untuk menunjukkan siapa dan
dimana ada orang gagah dan sakti yang dapat menandingi Kiansantang.
Namun tak seorangpun yang mampu menunjukkannya. Tiba-tiba datang seorang
kakek yang memberitahu bahwa orang yang dapat menandingi kegagahan
Prabu Kiansantang adalah Sayyidina Ali, yang tinggal jauh di Tanah
Mekah. Sebetulnya pada waktu itu Sayyidina Ali telah wafat, namun
kejadian ini dipertemukan secara gaib dengan kekuasaan Alloh Yang Maha
Kuasa. Lalu , orang tua itu berkata kepada Prabu Kiansantang: “Kalau
memang kau mau bertemu dengan Sayyidina Ali, kau harus melaksanakan dua
syarat: Pertama,harus
mujasmedidulu di ujung kulon. Kedua, namamu harus diganti menjadi Galantrang Setra (Galantrang – Berani, Setra – Bersih/ Suci).
setelah Prabu Kiansantang melaksanakan dua syarat tersebut, maka
berangkatlah dia ke tanah Suci Mekah pada tahun 1348 Masehi. Setiba di
tanah Mekah, ia bertemu dengan seorang lelaki yang disebut Sayyidina
Ali, tetapi Kiansantang tidak mengetahui bahwa laki-laki itu bernama
Sayyidina Ali. Prabu Kiansantang yang namanya sudah berganti menjadi
Galantrang Setra menanyakan kepada laki-laki itu.
“Kenalkah dengan orang yang namanya Sayyidina Ali?” tentu laki- laki
itu menjawab dengan jujur, mengiyakannya, bahkan ia bersedia mengantar
Kian Santang. Sebelum berangkat, laki-laki itu menancapkan dulu
tongkatnya ke tanah. Setelah berjalan beberapa puluh meter, Sayyidina
Ali berkata, “Wahai Galantrang Setra, tongkatku ketinggalan di tempat
tadi, tolong ambilkan dulu!”
Semula Galantrang Setra tidak mau. Namun Sayyidina Ali mengatakan
jika tidak mau, tentu tidak akan bertemu dengan Sayyidina Ali.
Terpaksalah Galantrang Setra kembali ketempat bertemu, untuk
mengambilkan tongkat. Setibanya di tempat tongkat tertancap, Galantrang
Setra mencabut tongkat dengan sebelah tangan. Ternyata tongkat tidak
bisa dicabut, bahkan tidak sedikitpun berubah. Sekali lagi, Kian santang
berusaha mencabutnya, tetapi tongkat itu tetap tidak berubah. Ketiga
kalinya, Galantrang Setra mencabut tongkat dengan sekuat tenaga dengan
disertai tenaga bathin. Tetapi tongkat tetap tertancap di tanah dengan
kokoh, sebaliknya kedua kaki Galantrang Setra amblas masuk ke dalam
tanah, dan keluarlah darah dari tubuh Galantrang Setra.
Sayyidina Ali mengetahui kejadian itu, maka beliaupun datang. Setelah
Sayyidina Ali tiba, tongkat itu langsung dicabut sambil mengucapkan
Bismillah dan dua kalimat syahadat.Tongkatpun terangkat dan bersamaan
dengan itu hilang pulalah darah dari tubuh Galantrang Setra. Galantrang
Setra merasa heran, kenapa darah yang keluar dari tubuh itu tiba-tiba
menghilang dan kembali tubuhnya sehat. Dalam hatinya ia bertanya.
“Apakah kejadian itu karena kalimah yang diucapkan oleh orang tua itu
tadi?”. Kalaulah benar, kebetulan, akan kuminta ilmu kalimah itu. Tetapi
laki-laki itu tidak menjawab. Alasannya, karena Galantrang Setra belum
masuk Islam.
Kemudian mereka berdua berangkat menuju Mekah. Setelah tiba di Mekah,
di tengah perjalanan ada yang bertanya kepada laki-laki itu dengan
sebutan Sayyidina Ali. Galantrang Setra kaget mendengar panggilan ”Ali”
tersebut. Ternyata laki-laki yang baru dikenalnya tadi tiada lain adalah
Sayyidina Ali.
Setelah Kiansantang meninggalkan Mekah untuk pulang ke Tanah Jawa
(Pajajaran), ia terlunta-lunta tidak tahu arah tujuan. Maka ia berpikir
untuk kembali ke Mekah lagi dengan niat bulat akan menemui Sayyidina
Ali, sekaligus bermaksud memeluk agama Islam. Pada tahun 1348 Masehi,
Kiansantang masuk Islam. Ia bermukim selama dua puluh hari sambil
mempelajari ajaran agama Islam. Kemudian dia pulang ke tanah Jawa
(Pajajaran) untuk menengok ayahnya Prabu Siliwangi dan
saudara-saudaranya.
Setibanya di Pajajaran, ia bertemu dengan ayahnya. Kian Santang
menceritakan pengalamannya selama bermukim di tanah Mekah serta
pertemuannya dengan Sayyidina Ali. Pada akhir ceritanya, ia
memberitahukan bahwa dirinya telah masuk Islam dan berniat mengajak
ayahnya untuk memeluk agama Islam. Prabu Siliwangi kaget sewaktu
mendengar cerita anaknya, terlebih ketika anaknya mengajak masuk agama
Islam. Sang ayah tidak percaya, dan ajakannya ditolak.
Tahun 1355 Masehi, Kiansantang berangkat kembali ke tanah Mekah.
Jabatan kedaleman, untuk sementara diserahkan ke Galuh Pakuan yang pada
waktu itu dalemnya dipegang oleh Prabu Anggalang. Prabu Kiansantang
bermukim di tanah Mekah selama tujuh tahun dan mempelajari ajaran agama
Islam secara khusu. Merasa sudah cukup menekuni ajaran agama Islam,
kemudian ia kembali ke Pajajaran tahun 1362 M. Ia berniat menyebarkan
ajaran agama Islam di tanah Jawa. Kembali ke Pajajaran pun disertai
saudagar Arab yang punya niat berniaga di Pajajaran sambil membantu
Kiansantang mensyi’arkan agama Islam.
Setiba di Pajajaran, Kiansantang langsung menyebarkan agama Islam di
kalangan masyarakat, karena ajaran Islam dalam fitrohnya membawa
keselamatan dunia dan akhirat. Masyarakat menerimanya dengan tangan
terbuka. Kemudian Prabu Kiansantang bermaksud menyebarkan ajaran agama
Islam di lingkungan Keraton Pajajaran.
Setelah Prabu Siliwangi mendapat berita bahwa anaknya sudah kembali
ke Pajajaran dan akan menghadap kepadanya. Prabu Siliwangi yang
mempunyai martabat raja mempunyai pikiran. “Dari pada masuk agama Islam
lebih baik aku muninggalkan keraton Pajajaran”. Sebelum berangkat
meninggalkan keraton, Prabu Siliwangi merubah Keraton Pajajaran yang
indah menjadi hutan belantara.
Melihat gelagat demikian, Kiansantang mengejar ayahnya. Beberapa kali
Prabu Siliwangi terkejar dan berhadapan dengan Kiansantang yang
langsung mendesak agar sang ayah dan para pengikutnya masuk Islam. Namun
Prabu Siliwangi tetap menolak, malah beliau lari ke daerah Garut
Selatan. Kiansantang menghadangnya di laut Kidul Garut, tetapi Prabu
Siliwangi tetap tidak mau masuk agama Islam. Dengan rasa menyesal,
Kiansantang terpaksa membendung jalan larinya sang ayah. Prabu Siliwangi
masuk ke dalam gua yang sekarang disebut gua sancang Pameungpeuk.
Prabu Kiansantang sudah berusaha mengislamkan ayahnya, tetapi Alloh
tidak memberi hidayah kepada Prabu Siliwangi. Kiansantang kembali ke
Pajajaran, kemudian membangun kembali kerajaan sambil menyebarkan agama
Islam ke pelosok-pelosok, dibantu oleh saudagar Arab sambil berdagang.
Namun istana kerajaan yang diciptakan oleh Prabu Siliwangi tidak
dirubah, dengan maksud pada akhir nanti anak cucu atau generasi muda
akan tahu bahwa itu adalah peninggalan sejarah nenek moyangnya. Sekarang
lokasi istana itu disebut Kebun Raya Bogor.
Pada tahun 1372 Masehi, Kiansantang menyebarkan agama Islam di Galuh
Pakuan dan dia sendiri yang mengkhitan laki-laki yang masuk agama Islam.
Tahun 1400 Masehi, Kiansantang diangkat menjadi Raja Pajajaran,
menggantikan Prabu Munding Kawati atau Prabu Anapakem I. Namun
Kiansantang tidak lama menjadi raja, karena mendapat ilham harus
uzlah, pindah dari tempat yang ramai ketempat yang sepi. Dalam
uzlah itu,
ia diminta agar bertafakur untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah
SWT, dalam rangka mencapai kema’ripatan. Kepada beliau dimintakan untuk
memilih tempat tafakur dari ke 3 tempat, yaitu Gunung Ceremai, Gunung
Tasikmalaya, atau Gunung Suci Garut.
Waktu uzlah harus dibawa peti yang berisikan tanah pusaka. Peti itu
untuk dijadikan tanda atau petunjuk tempat bertafakur nanti, apabila
tiba disatu tempat peti itu godeg/ berubah, maka disanalah tempat dia
tafakur, dan kemudian nama Kiansantang harus diganti dengan Sunan
Rohmat. Sebelum
uzlah, Kiansantang menyerahkan tahta kerajaan kepada Prabu Panatayuda, putra tunggal Prabu Munding Kawati.
Setelah selesai serah-terima tahta kerajaan dengan Prabu Panatayuda,
maka berangkatlah Prabu Kiansantang meninggalkan Pajajaran. Tempat yang
dituju pertama kali adalah Gunung Ceremai. Setibanya disana, peti
diletakan di atas tanah, tetapi peti itu tidak godeg alias berubah.
Kiansantang kemudian berangkat lagi ke gunung Tasikmalaya, disana juga
peti tidak berubah. Akhirnya Kiansantang memutuskan untuk berangkat ke
gunung Suci Garut. Setibanya di gunung Suci Garut, peti itu disimpan
diatas tanah, secara tiba-tiba berubahlah peti itu. Dengan godegnya peti
tersebut, berarti petunjuk kepada Kiansantang bahwa ditempat itulah
beliau harus tafakur untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tempat itu
kini diberi nama Makam Godog.
Prabu Kiansantang bertafakur selama 19 tahun. Sempat mendirikan
Mesjid yang disebut Masjid Pusaka Karamat Godog yang berjarak dari makam
godog sekitar kurang lebih 1 Km. Prabu Kiansantang namanya diganti
menjadi Syeh Sunan Rohmat Suci dan tempatnya menjadi Godog Karamat.
Beliau wafat pada tahun 1419 M atau tahun 849 Hijriah. Syeh Sunan Rohmat
Suci wafat di tempat itu yang sampai sekarang dinamakan Makam Sunan
Rohmat Suci atau Makam Karamat Godog.